Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Sejarah Revolusi Perancis, Jatuhnya Kekuasaan Sang Monarki




Perancis adalah salah satu negara paling berpengaruh di daratan Eropa pada masa kepemimpinan oleh raja-raja. Tak ada yang menyangka bahwa negara dengan sistem pemerintahan monarki absolut itu akan mengalami kejatuhan yang begitu hebat. Bahkan Raja Louis XVI menjadi raja terakhir Perancis, beserta dengan istrinya Marie Antoinette Ratu Perancis hidupnya harus berakhir di bawah tiang pancungan...

Sistem pemerintahan monarki absolut telah dijalani oleh Perancis selama berabad-abad lamanya. Sistem pemerintahan inilah yang mengantarkan Louis Auguste memegang tampuk raja tak lama setelah mangkatnya sang kakek, Raja Louis XV akibat penyakit cacar.

Louis Auguste atau Raja Louis XVI berasal dari Dinasti Bourbon yang diangkat menjadi raja dalam usia yang terbilang sangat muda, 20 tahun. Louis muda adalah orang yang agak pemalu dan juga kutu buku. Pada masa awalnya naik tahta, rakyat Perancis begitu menyukainya, namun kemudian diketahui bahwa sang raja rupanya kurang cakap memimpin. Padahal saat pergantian kepemimpinan, Perancis tengah menghadapi krisis perekonomian warisan dari kepemimpinan sang kakek. Dua hal inilah yang kemudian lambat laun menjadi bom waktu.

Raja Louis XVI

Sebelum diangkat menjadi Raja Perancis, Louis XVI telah dijodohkan dengan Marie Antoinette, seorang putri cantik yang berasal dari Austria. Tujuan pernikahan keduanya tak lain adalah agar monarki Perancis dan Austria yang telah lama berselisih kembali berhubungan baik. Raja Louis XVI rupanya jatuh cinta pada pandangan pertama dengan Marie.

Marie Antoinette

Keduanya menikah dan Marie Antoinette resmi menjadi Ratu Perancis pada 10 Mei 1774. Dari pernikahan keduanya dikaruniai empat orang anak.


Penyebab Terjadiya Revolusi Perancis

Seperti telah disebutkan di atas bahwa Raja Louis XVI naik tahta ketika krisis keuangan hebat melanda negara tersebut. Selain itu pula Raja Louis XVI dianggap tak becus memperbaiki keadaan yang kian memburuk, terutama di bidang ekonomi. Apalagi saat itu Perancis baru saja terlibat dalam Perang Tujuh Tahun dengan Inggris dan membantu dalam Perang Revolusi Amerika yang membuat keadaan keuangan negara justru tambah memburuk.

Pada saat itu pula rakyat Perancis mengalami suatu transformasi di bidang sosial dan politik yang begitu cepat. Banyak bermunculan pejuang-pejuang dari kaum liberal dan sayap kiri yang selalu memprotes kebijakan raja. Para pejuang ini mengatasnamakan kepentingan rakyat kelas bawah.

Perlu diketahui bahwa pada masa itu di Perancis terdapat tiga golongan masyarakat. Golongan teratas yaitu bangsawan, golongan kedua yaitu pendeta-pendeta, dan yang paling bawah adalah kelas petani dan pekerja. Pemberontakan awalnya didasari karena rasa sakit hati rakyat karena keharusan menyetorkan pajak, sementara kelas bengsawan dan pendeta justru diberikan pengecualian dan keringanan. Sementara rakyat harus menghadapi tahun-tahun dengan hasil panen yang buruk dan harga pangan yang menggila. Fakta ini kemudian mendorong rakyat untuk menuntut kesetaraan dalam ekonomi, sosial, dan politik.



Kemudian penyebab lain pecahnya Revolusi Perancis adalah muaknya rakyat dengan kehidupan mewah keluarga kerajaan tanpa memikirkan nasib rakyat. Hal ini terutamanya dilihat dari Ratu Marie Antoinette yang gemar hidup glamor dan bermewah-mewahan. Ia bahkan dijuluki sebagai Madam Deficit.

Baca juga: Skandal Kalung Permata Marie Antoinette

Ratu Marie terkenal akan hobinya mengkoleksi barang-barang mewah dan berpesta. Beberapa skandal Sang Ratu misalnya rumor tentang perselingkuhan dirinya dengan bangsawan Swedia bernama Count Axel von Fersen hingga mengandung anak hasil perselingkuhan tambah membuat rakyat Perancis membencinya. Selain itu pula, Sang Ratu yang berasal dari Austria dituduh telah menjadi mata-mata bagi negaranya. Maka lengkaplah sudah alasan rakyat untuk membenci Ratu mereka.


Revolusi Perancis (1789-1799)

Pergerakan dimulainya revolusi di Perancis telah mulai tercium beberapa tahun sebelumnya, hal ini tampaknya mulai disadari oleh Raja Louis XVI. Menyadari keuangan negara yang sedang sakit, ia bukannya tak melakukan apa-apa. Raja Louis XVI pernah berusaha untuk mengurangi pengeluaran negara dan keluarganya, namu percaya atau tidak justru parlemen menggagalkan hal ini.

Raja Louis segera berbenah untuk melakukan revolusi keuangan. Ia memecat menteri keuangan yang menjabat saat itu, Turgot, karena dinilai gagal melaksanakan perbaikan keuangan negara. Ia lalu menunjuk Jacques Necker sebagai bendahara keuangan. Kenapa bukan sebagai menteri keuangan? Rupanya Necker adalah seorang Protestan sehingga tak bisa menjabat sebagai menteri saat itu.

Jacques Nacker

Jacques Necker sejatinya adalah sosok yang misterius menurut saya, dan ia nantinya akan banyak berperan dalam menggulingkan sistem monarki di Perancis. Necker yang memeriksa data keuangan negara segera menyadari bahwa keuangan negara benar-benar bermasalah. Ia pun meberikan usul untuk melakukan pinjaman.

Entahlah ini benar atau tidak, namun banyak teori konspirasi yang percaya bahwa Jacques Necker adalah agen Yahudi yang dimasukkan ke dalam pemerintahan untuk memperkeruh suasana. Idenya untuk melakukan pinjaman tampak tak asing bukan? Bagi kalian yang sebelumnya membaca artikel Jejak Yahudi dalam Sejarah Kekuasaan Uang di Dunia pasti kalian akan memahami maksud saya.

Raja Louis XVI menolak usul Necker untuk melakukan peminjaman. Necker sendiri adalah sosok yang tak disukai di kalangan keluarga kerajaan alasannya karena pria ini dianggap telah membelokkan opini publik secara terang-terangan tentang keluraga raja. Maka Marie Antoinette, Comte de Artois (adik Raja Louis XVI), dan para anggota konservatif mendesak raja untuk segera memecatnya.

Necker rupanya memang telah bertindak di luar batas. Ia menerbitkan laporan keuangan pemerintah yang dipublikasikan kepada khalayak pada 11 Juli 1789. Atas tindakannya itu, raja pun memecatnya. Namun buntut dari pemecatan Necker rupanya panjang. Bagi sebagian rakyat Perancis, Necker dianggap sebagai wakil mereka di pemerintahan, memecat Necker berarti penghinaan terhadap rakyat.

Penentang Raja Louis XVI semakin bertambah dan berupaya menjatuhkan kerajaan dengan berbagai cara. Bahkan pada masa itu adalah hal biasa menemukan pamflet berisi kritikan terhadap pemerintah, hingga informasi-informasi palsu tentang keluarga kerajaan yang disebarkan untuk membentuk opini publik. Maka kebencian rakyat terhadap raja, ratu, dan sistem monarki pun menjadi-jadi.

Ilustrasi kemarahan rakyat Perancis pada monarki

Seelah memecat Necker, raja lalu menunjuk Alexandre de Calonne sebagai bendahara baru. Calonne yang segera menyadari bahwa keuangan negara sedang genting mengusulkan agar pajak juga harus dipungut dari kaum bangsawan dan juga pendeta. Namun usulannya ini ditentang pihak parlemen. Tak hanya itu saja, Majelis Bangsawan juga turut melemahkan posisinya.

Maka raja segera memanggil Etats Generaux pada Mei 1789, sesuatu yang tidak pernah dilakukan sebelumnya, setidaknya dalam 100 tahun terakhir sejak 1641. Pemanggilan ini sekaligus menandai bahwa situasi negara sedang kritis dan lemah.

Pertemuan Etats Generaux

Pertemuan Etast Generaux dilaksanakan pada musim semi tahun 1789. Pertemuan itu mengumpulkan tiga golongan yaitu pendeta, kaum bangsawan, dan rakyat biasa. Pada pertemuan penting itulah Komite Tiga Puluh menginginkan adanya penghapusan sistem lama.

Banyak peristiwa penting yang terjadi di Perancis selama tahun 1789 itu dan menjadi awal mula lahirnya Rvolusi Perancis. Pada bulan Mei di tahun itu, rakyat menjadi lebih radikal apalagi ditambah dengan hasutan dari golongan sayap kiri dan kaum liberal. Hingga pada 10 Juni etats ketiga atau golongan rakyat yang terdiri dari kaum borjuis mendeklarasikan diri sebagai Majelis Nasional.

Pada 20 Juni hanya beberapa hari sejak deklarasi tersebut, diadakanlah pertemuan di lapangan tenis yang menjadi Sumpah Lapanagn Tenis yang berisikan bahwa majelis tidak akan pernah membubarkan diri atau berpisah hingga bisa memberikan konstitusi baru bagi Perancis. Beberapa waktu kemudian kaum bangsawan mulai bergabung dengan Majelis.

Pihak kerajaan rupanya terang-terangan menunjukkan rasa tak senang dengan adanya Majelis ini yang dianggap sebagai pemberontak. Pemerintah Perancis mulai menerjunkan militer ke seluruh Paris dan Versailles. Dukungan rakyat pun dapat ditebak mengalir ke mana. Kerajaan segera menjadi musuh bersama.

Tanggal 14 Juli para pemberontak mulai memasuki benteng dan penjara Bastille yang saat itu merupakan simbol kekuasaan monarki. Para pemberontak ini mengincar senjata yang berada di sana. Tak butuh waktu lama bagi para pemberontak untuk berhasil menaklukkan benteng pada sore harinya.

Penjara Bastille berhasil diduduki oleh para pemberontak

Pada peristiwa inilah gubernur Marquis Bernard de Launay ditangkap oleh para pemberontak. Ia dipukuli, ditusuk, dan akhirnya dipenggal. Kepalanya lalu diletakkan di ujung tombak dan diarak berkeliling kota. Situasi kota makin mencekam.

Raja Louis XVI yang tahu bahwa situasi sudah sangat berbahaya justru malah menolak bantuan dari penguasa Eropa lainnya. Padahal ia tahu bisa saja meminta pertolongan pada Austria, negeri sang istri. Namun ia tahu itu nantinya justru akan berbahaya bagi para pemimpin negara itu.

Malam hari tanggal 20 Juni 1791, anggota keluarga kerajaan pergi melarikan diri ke Tuileries. Malangnya saat di tengah jalan, seseorang mengenali Raja Louis XVI yang berpakain biasa. Mereka akhirnya ditangkap di Varennes pada keesokan harinya. Dengan pengawalan sangat ketat, raja dan ratu Perancis dibawa kembali ke Paris.

Konvensi Nasional Perancis menyatakan bahwa Raja Louis XVI bersalah dengan tuduhan melakukan pengkhianatan. Tanggal 21 Jnauari 1793, Raja Louis menjalani hukuman mati dengan cara penggal. Nasib sang raja berakhir di ujung pisau guilloteine di Place de la Revolution (Lapangan Revolusi) di Paris.

Ilustrasi proses eksekusi Raja Louis XVI

Ratu Marie Antoinette juga mengalami nasib serupa. Sembilan bulan pasca eksekusi sang suami, dirinya juga menjalani hukuman mati tepatnya pada tanggal 16 Oktober 1793 dengan tuduhan penghianatan. Ratu Marie dieksekusi di hadapan rakyat yang bersorak-sorak.

Baca juga: 7 Ratu dan Putri Kerajaan yang Dieksekusi Mati

Ilustrasi eksekusi mati Marie Antoinette

Pasca Eksekusi Raja dan Ratu Perancis

Menulis sejarah Revolusi Perancis banyak mengingatkan saya pada apa yang terjadi pada Rusia. Dalam artikel yang pernah saya tulis mengenai Akhir Tragis Keluarga Romanov, banyak kesamaan antara Revolusi yang terjadi di Perancis dan kejatuhan monarki di Rusia yang terjadi lebih dari 100 tahun kemudian.

Begitu jatuhnya monarki di Rusia, maka negara itu berada dalam genggaman komunis yang ternyata justru memakan banyak nyawa. Pada kepemimpinan Stalin, yang berkuasa setelah sang revolusioner Lenin meninggal, justru terjadi insiden kelaparan besar-besaran yang diduga merupakan genosida massal. Parahnya lagi hal itu tak hanya terjadi di Rusia/Uni Sovyet namun juga melebar hingga ke Ukraina yang dikenal dengan Tragedi Holodomor dan negara tetangga lainnya.

Kembali lagi ke Revolusi Perancis, begitu sang raja dieksekusi, Pemerintah Teror mulai mengambil alih kekuasaan. Di bawah nama-nama seperti Maximilien Robespierre dan Jacobin serta Komite Keamanan Publik yang diktator dan kejam selama periode 1793-1794 sebanyak 16.000 - 40.000 rakyat Perancis tewas.



Setahun kemudian kekuasaan mereka jatuh. Kedua orang ini dieksekusi mati. Direktori lalu mengambil alih kendali negara selama 4 tahun yaitu 1795-1799 hingga akhirnya diganti Konsulat di bawah pimpinan Napoleon Bonaparte.

Akibat dari Revolusi Perancis ini adalah bertumbuhnya sistem republik dan demokrasi liberal di sana. Selain itu paham sekulerisme dan ideologi modern juga mengalami perkembangan.

Eya
Eya Mystery and World History Enthusiast

2 komentar untuk "Sejarah Revolusi Perancis, Jatuhnya Kekuasaan Sang Monarki"

  1. Tolong di revisi, borjuis itu adalah kelas bangsawan (atas) bukan kelas bawah / rendah.

    BalasHapus