Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Misteri Kaum Hobbit di Liang Bua, Flores




Berawal dari kerjasama pencarian jejak migrasi suku Aborigin di Indonesia, tim gabungan Indonesia-Australia mendapati penemuan mengejutkan di Liang Bua, Flores. Dalam penggalian 5 meter, mereka menemukan kerangka-kerangka mirip manusia namun anehnya ukurannya sangat kecil. Penemuan ini kemudian menimbulkan perdebatan apakah sebenarnya kerangka itu adalah rangka spesies manusia berbeda atau hanya manusia dengan cacat fisik? Inilah manusia "Hobit" dari Flores yang misterius.



Penemuan yang Mengejutkan

Seperti telah disebutkan di atas, tempat penemuan kerangka "Hobit" itu bernama Liang Bua. Liang Bua adalah sebuah gua batu kapur yang terletak di utara kota Ruteng, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur. Gua ini memiliki panjang 50 meter, lebar 40 meter, serta tinggi mencapai 25 meter.

Gua ini diperkirakan telah ada sejak 190.000 tahun yang lalu yang didasarkan pada uji laboratorium terhadap sampel sedimen di pojok selatan gua.

Liang Bua dan juga gua-gua yang berada disekitarnya sebenarnya telah digali sejak tahun 1930. Gua ini sejak itu memang diketahui memiliki potensi arkeologis dan paleontologis. Penemuan-penemuan pada masa kolonial Belanda itu kemudian dibawa ke Leiden, Belanda. Penggalian dan penelitian lalu dilanjutkan oleh HR Van Heekeren pada tahun 1950an sebelum akhirnya diteruskan oleh arkeolog dan misionaris Belanda, Theodore L. Verhoeven.

Liang Bua

Pusat penelitian arkeolog nasional sendiri mulai melakukan penelitian secara intensif sejak tahun 1976. Menjelang akhir tahun 1970an, tim yang diketuai oleh Prof. Dr. Raden Panji Soejono saat itu telah mendapatkan sejumlah tengkorak manusia dan juga kuburan fosil manusia purba.

Hingga tahun 1989 telah ditemukan banyak kerangka Homo sapiens dan berbagai mamalia di gua tersebut mulai dari makhluk yang mirip gajah Stegodon, biawak, hingga tikus besar yang diduga menjadi bahan makanan mereka. Di samping penemuan tersebut, didapati pula alat-alat batu seperti pisau, beliung, arang, mata panah, arang dan juga tulang-tulang yang terbakar.

Baca juga: Misteri Lenyapnya Peradaban di Angkor Wat

Pada tahun 2001 tim gabungan dari Indonesia dan Australia melakukan kerjasama untuk mencari jejak peninggalan migrasi nenek moyang suku Aborigin Australia di Indonesia. Tim Indonesia dipimpin olej Raden Pandji Soejono dari Puslitbang Arkeologi Nasional, sementara Tim Australia dipimpin oleh Mike Morwood dari Universitas New England.

Pada September 2003 mereka melakukan penggalian yang tidak biasa. Mereka mulai menggali pada kedalaman 5 meter yang pada ekspedisi sebelumnya tidak pernah mencapai kedalaman tersebut. Pada saat itulah ditemukan kerangka mirip manusia tetapi dengan ukuran yang luar biasa kerdil. Penemuan itu lalu dinamakan Homo floresiesis (Manusia dari Flores).



Seiring berjalannya waktu penggalian, mereka tidak hanya mendapatkan satu individu Homo floresiensis, tetapi 9 individu (disebut LB1 hingga LB9). Tetapi sayangnya tidak ada satu pun yang lengkap. Tulang-tulang yang ditemukan itu tidak menjadi batu (fosil) tetapi cukup lembab dan sangat rapuh. Menurut dugaan Liang Bua sebenarnya merupakan tempat pekuburan. 

Individu yang paling lengkap kemudian disebut LB1. Diperkirakan adalah betina dan ditemukan pada lapisan tanah berusia sekitar 18.000 tahun. Penemuannya cukup lengkap terdiri dari tengkorak, tiga tungkai (tidak ada lengan kiri) serta beberapa tulang badan.

Sementara itu individu-individu lainnya berusia antara 94.000-13.000 tahun. Perkiraan usia ini dilakukan berdasarkan usia lapisan yang lebih tua daripada kerangka. Tetapi menghitung pendugaan usia kerangka dengan radiokarbon nyaris tidak bisa dilakukan dilakukan karena metode konservasi tulang tidak memungkinkan teknik itu untuk dilakukan. Walaupun tulang-tulang itu tidak membatu, namun tidak didapati sisa-sisa material genetik, sehingga tidak memungkinkan untuk melakukan analisis DNA. 

Homo floresiensis memiliki ciri-ciri yang cukup aneh sebenarnya. Pertama tengkoraknya panjang dan rendah, dan juga volume otak yang sangat kecil yaitu hanya 380 cc. Kapasitas cranial tersebut jelas berada jauh di bawah Homo Erectus (1000 cc) dan juga manusia modern Homo sapiens (1400cc). Bahkan volume otak itu masih berada di bawah otak simpanse.



Tengkorak kecil Homo floresiensis menunjukkan bahwa spesies itu memiliki otak seukuran jeruk, menyerupai spesies purba Homo habilis, yang hidup 2,4 hingga 1,4 juta tahun yang lalu. Ketika para peneliti menggali lebih dalam, menjadi jelas bahwa Homo floresiensis memiliki perpaduan yang aneh antara sifat-sifat primitif dan modern.

Baca juga: Misteri Tengkorak yang Memanjang (Elongated Skull)

Selain itu tingginya hanya sekitar 3 kaki dan berat 55 pound. Meskipun memiliki ciri fisik seperti manusia modern, tapi jelas ukuran fisik seperti itu benar-benar tidak biasa.


Kontroversi dan Perdebatan

Inti dari perdebatan Homo floresiensis adalah apakah mereka benar-benar spesies manusia yang berbeda atau hanya manusia dengan cacat genetik.

Kelompok peneliti yang juga terlibat dalam penelitian ini yang diketuai oleh Prof. Teuku Jacob dari UGM berpendapat bahwa fosil tersebut berasal dari spesies manusia. Berdasarkan penemuan, mereka yakin bahwa fosil dari Liang Bua tersebut sebenarnya merupakan kelompok orang Katai Flores yang bahkan sampai sekarang populasinya masih dapat ditemukan di sekitar lokasi Liang Bua. Mereka menderita gangguan pertumbuhan yaitu kepala kecil yang dikenal pula dengan Mikrosefali.

Menurut mereka juga, sisa-sisa manusia dari Liang Bua masih merupakan moyang manusia dari jenis Homo sapiens yang sampai sekarang masih hidup di Pulau Flores dan termasuk dalam kelompok Australomelanesoid.

Orang-orang di Flores diduga memiliki DNA Homo floresiensis

Perdebatan ini sempat memanas bahkan Liang Bua dan juga gua-gua di sekitarnya sampai ditutup selama beberapa waktu bagi peneliti asing. Namun sepeninggal Prof. Jacob yang wafat tahun 2007 lalu, Liang Bua dan gua-gua lainnya kembali dapat diakses bagi penelitian.

Kerangka kecil ini terus memicu kontroversi selama bertahun-tahun. Beberapa ahli berpendapat bahwa kerangka itu tidak mewakili spesiesnya sendiri dan hanyalah manusia modern yang sakit. Sangat mudah untuk tersesat dalam teori bersaing di mana Homo floresiensis berasal dan bagaimana mereka bisa sampai ke Indonesia.


Homo floresiensis Berbeda dari Homo Sapiens?

Pada September 2007, para ilmuwan menemukan petunjuk baru berdasarkan pengamatan mereka terhadap pergelangan pada fosil-fosil yang ditemukan. Penemuan menunjukkan bahwa Homo floresiensis bukan merupakan manusia modern melainkan merupakan spesies yang berbeda. Tulang Homo floresiensis memang berbeda dari tulang Homo sapiens (manusia modern) maupun manusia Neandertal.

Pada tahun 2009 spesimen LB1 dinyatakan lebih primitif daripada Homo sapiens, namun mereka masih berada dalam variasi Homo erectus.

Publikasi pertama yang dimuat di Antropological Science membandingkan LB1 dengan spesimen Homo sapiens (baik normal maupun patologis) dan juga beberapa Homo primitif. Hasilnya menunjukkan bahwa Homo floresiensis tidak dapat dipisahkan dari Homo erectus namun berbeda dari Homo sapiens baik yang yang normal maupun yang patologis karena sebab mikrosefali. Homo floresiensis juga memiliki ciri-ciri berbeda dari manusia modern dan lebih dekat ke arah hominin purba.

Mungkinkah ketika makanan menjadi lebih langka, maka ukuran mereka akan menyusut dari generasi ke generasi. Teori ini didukung pula oleh keberadaan spesies gajah kecil yang juga ditemukan di Pulau Flores yang diduga berkembang dan berevolusi dalam kondisi yang sama.

Patung wanita Homo floresiensis di Hall of Human Origins, Smithsonian

Teori lain adalah bahwa hobbit ini hanyalah sekelompok manusia purba yang memiliki kelainan genetik karena mereka tidak hanya berukuran kecil namun juga otak mereka juga lebih kecil. Para ilmuwan berpendapat bahwa ukuran hobbit disebabkan oleh dwarfisme.

Baca juga: Penemuan Menakjubkan Mumi Lady Dai yang Berusia 2.100 Tahun

Teori-teori terkemuka menunjukkan bahwa nenek moyang Homo floresiensis mungkin telah dikenakan dwarfisme. Ada tekanan evolusi yang unik, di antaranya sumber daya yang terbatas. Sebagai kompensasi, beberapa hewan mengembangkan ukuran tubuh yang lebih kecil yang membutuhkan lebih sedikit energi untuk mempertahankannya. Sisa-sisa hewan yang digali bersama dengan Homo floresiensis di Liang Bua termasuk spesies kerdil gajah primitif disebut Stegodon, bersama dengan komodo berukuran normal. Morwood dan Brown mengemukakan bahwa karena kerdil pulau bermain di Flores, itu bisa membentuk Hobbit dan mungkin menjelaskan kemunculan kembali ciri-ciri kerangka primitif.

Tulang pergelangan kaki Homo floresiensis juga tidak mengandung ciri khas tertentu seperti tulang kaki, wajah, dan pergelangan tangan manusia modern.


Dari mana Homo floresiensis tersebut berasal?

Salah satu teori yang paling banyak diterima adalah bahwa Homo floresiensis berevolusi dari versi Homo erectus. Memang secara kebetulan sisa-sisa Homo erectus telah muncul di Pulau Jawa. Fosil Homo erectus paling awal yang digali di luar Afrika, di Dmanisi, Georgia, juga menunjukkan bahwa hominin ini tidak selalu merupakan spesimen tegap besar. Kerangka Dmanisi lebih kecil dan mempertahankan beberapa ciri-ciri primitif. Ini semua mengisyaratkan bahwa sekelompok Homo erectus awal bisa saja mencapai daratan Asia Tenggara dan kemudian terdampar di Flores dan memunculkan Manusia Hobbit.



Bahkan selama maksimum glasial terakhir, ketika permukaan laut turun secara drastis, Flores tidak akan dapat diakses dari pulau-pulau Indonesia lainnya atau daratan Asia Tenggara. Nenek moyang Homo floresiensis membutuhkan perahu dan rakit. Meskipun tidak keluar dari kemungkinan, tidak ada bukti bahwa Homo erectus membangun kapal. Lebih mungkin, populasi awal terdampar di tanah bervegetasi, pulau mikro, yang terputus dari daratan dan menabrak Flores ini sebenarnya tidak jarang di wilayah pesisir selama topan atau tsunami.

Penanggalan awal abu vulkanik dalam endapan di sekitar fosil Homo floresiensis menempatkan tulang-tulang tersebut berusia antara 38.000-18.000 tahun. Tetapi bukti arkeologis lainnya, seperti alat-alat batu di gua Liang Bua, membentang dari 94.000-13.000 tahun yang lalu. Alat batu tertua yang ditemukan di Flores berasal dari 1,02 juta tahun yang lalu yang mungkin berasal dari Homo floresiensis atau kemungkinan besar nenek moyang mereka.

Pada tahun 2014, antropolog Maciej Henneberg dan rekannya mengklaim bahwa spesimen LB1 sesungguhnya menderita sindrom Down, dan bahwa sisa-sisa individu lainnya yang ditemukan di gua itu hanyalah manusia modern yang normal. Namun pada tahun 2016, sebuah studi lainnya menyimpulkan bahwa LB1 tidak menunjukkan jumlah karakteristik sindrom Down yang cukup untuk mendukung teori tersebut.

Tampaknya Kaum Hobbit dari Liang Bua ini akan terus menuai teori dan perdebatan yang barangkali suatu saat nanti akan sungguh ditemukan siapa sebenarnya mereka.

Referensi:

https://id.wikipedia.org/wiki/Liang_Bua
https://en.wikipedia.org/wiki/Homo_floresiensis
https://www.smithsonianmag.com/science-nature/ten-years-flores-hobbit-human-evolution-fossil-puzzle-180953108/
https://iheartintelligence.com/mystery-hobbits/
https://www.thesun.co.uk/tech/10129929/ancient-hobbits-human-ancestor/


Kasih komentar yaa.. Tanpa kalian apalah arti aku menulis. Kalian adalah penyemangat setiap kalimat demi kalimat yang kutulis, setiap artikel yang kuposting.. ;)

Perhatian: Mohon hargai penulis dengan tidak mengambil atau copy paste artikel di blog ini untuk dijadikan postingan blog/website ataupun konten Youtube. Terima kasih.. ^^

Eya
Eya Mystery and World History Enthusiast

1 komentar untuk "Misteri Kaum Hobbit di Liang Bua, Flores"