Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Perang Saudara, Pesta Penjajah: Bagaimana Kekaisaran Inca Menyerah Tanpa Diserbu


"Seorang penguasa yang menang perang saudara tak selalu siap menghadapi perang yang sebenarnya."


Persaingan Dua Pangeran, Serigala yang Mengamati dari Jauh

Tahun 1527, wabah cacar yang dibawa diam-diam oleh bangsa Eropa mulai menyebar di wilayah barat Amerika Selatan. Tanpa sebutir peluru pun ditembakkan, wabah ini membunuh jutaan rakyat Kekaisaran Inca, termasuk Sapa Inca Huayna Capac dan putra mahkotanya, Ninan Cuyochi. Takhta kosong. 

Kekaisaran yang membentang dari Kolombia hingga Cile kini terguncang bukan oleh musuh asing, melainkan oleh perebutan warisan darah.

Atahuapla vs Huascar

Dua pangeran, Atahualpa dan Huáscar, berebut kuasa atas tanah emas ini. Di tengah perang saudara yang brutal dan berdarah, kapal-kapal layar dari seberang samudra perlahan menepi. 

Tak satu pun rakyat Andes menyangka, bahwa kekacauan internal mereka sedang disaksikan dengan penuh nafsu oleh seorang penakluk kecil dari Spanyol, Francisco Pizarro. Dan ketika kedua saudara saling tikam demi mahkota, Pizarro hanya menunggu waktu untuk merebut segalanya, dengan 180 orang dan niat jahat yang sempurna.


Hari-Hari Terakhir Bangsa Inca

Tahun 1527, langit Andes mendung bukan karena hujan, tapi karena kekuasaan sedang kehilangan pusat gravitasinya. Huayna Capac, sang Sapa Inca yang membawa kejayaan hingga ke Ekuador, mati mendadak karena penyakit asing yang belum pernah dikenal rakyatnya, cacar dari Eropa. Lebih parah lagi, pewaris yang ditunjuk, Ninan Cuyochi, ikut wafat. 

Kekaisaran Inca, yang membentang dari Kolombia selatan hingga Chili utara, tiba-tiba jadi rumah tanpa tuan. Kekosongan ini memantik api di dada dua pangeran: Huáscar dan Atahualpa.

Huáscar adalah anak dari permaisuri resmi, dibesarkan di jantung istana Cuzco, pusat spiritual dan administratif kekaisaran. Tapi Atahualpa, anak dari selir dan didukung para jenderal dari wilayah utara seperti Quito, punya kekuatan militer dan loyalitas pasukan tempur. 

Perebutan takhta berubah menjadi perang saudara yang brutal. Antara tahun 1529 hingga 1532, jalan-jalan batu yang dulu dilintasi pembawa pesan Chasqui, kini menjadi lorong darah dan abu. Dua bersaudara saling kirim tentara, bukan surat.

Chasqui, pembawa pesan

Pasukan Atahualpa, dengan dukungan jenderal Quizquiz dan Chalcuchímac, menunjukkan ketangguhan brutal. Huáscar, meski didukung kalangan pendeta dan bangsawan lama, tak punya pengalaman militer yang cukup. Pertempuran demi pertempuran, Atahualpa semakin mendekati kemenangan. Dan akhirnya, di Quipaipan dekat Cuzco, pasukan Huáscar dihancurkan. Sang pangeran ditangkap dan dipermalukan, dibawa seperti hewan buruan. Kekuasaan berada di genggaman Atahualpa, tapi ia belum sempat duduk di singgasana.

Huascar sedang digiring setelah kekalahannya

Pada saat yang nyaris bersamaan, di pantai barat kekaisaran, 180 orang asing berkuda menjejakkan kaki. Mereka datang bukan sebagai tamu, tapi sebagai predator yang mencium darah. 

Francisco Pizarro, penjelajah Spanyol yang sebelumnya gagal beberapa kali, kini kembali dengan restu kerajaan Spanyol dan taktik licik. Mereka mendengar tentang kekaisaran emas yang sedang retak. Dan dalam dunia kekuasaan, tak ada aroma yang lebih mengundang daripada kerajaan yang baru saja selesai perang saudara.

Francisco Pizzaro

Atahualpa saat itu berada di Cajamarca, menikmati pemandian air panas setelah kemenangan besar. Ia mendengar tentang orang-orang asing berkuda logam, tapi menganggap mereka makhluk aneh yang tak layak ditakuti. 

Maka saat Pizarro mengundangnya bertemu, ia datang. Tidak dengan pasukan perang, melainkan 6.000 pengawal upacara, tanpa senjata. Ia ingin menunjukkan keangkuhannya, bukan kekuatannya.

Tanggal 16 November 1532, alun-alun Cajamarca menjadi saksi dari pengkhianatan terbesar di pegunungan Andes. Pendeta Spanyol menyerahkan kitab suci kepada Atahualpa, yang tak mengerti satu kata pun. Ia melempar kitab itu ke tanah. Itu dianggap penghinaan. 

Meriam meledak, pasukan Spanyol menyerbu. Dalam waktu kurang dari satu jam, ribuan pengawal Inca dibantai. Dan Atahualpa yang baru saja menang perang saudara ditangkap hidup-hidup.

Namun Pizarro tidak membunuhnya. Belum. Ia tahu bahwa dalam tubuh tawanan itu tersimpan kunci kekuasaan dan emas. Atahualpa, yang panik, menawarkan tebusan: ia akan memenuhi satu ruangan dengan emas, dan dua ruangan lainnya dengan perak. 

Atahualpa

Pizarro mengangguk, dan selama berbulan-bulan emas dikirim dari pelosok kekaisaran. Jalan-jalan lama Inca kini dilalui kafilah emas untuk membayar kehidupan satu orang.

Sementara emas mengalir, Pizarro membangun kekuasaannya dari balik jeruji. Ia merekrut bangsawan lokal, menyusun aliansi, dan menyiapkan pemerintahan baru. Ia tak butuh senjata besar, hanya waktu dan kesabaran. Di luar, rakyat Inca mengira rajanya akan dibebaskan. Tapi di dalam, kematiannya sudah ditentukan.

Pada Juli 1533, Atahualpa dijatuhi hukuman mati karena tuduhan menyembah berhala, incest, dan berkhianat. Tuduhan yang dibentuk dengan logika kolonial, dijatuhkan oleh hukum asing. 

Ia diberi pilihan: dibakar hidup-hidup, atau dibaptis dan mati dengan cepat. Ia memilih dibaptis, mungkin berpikir bahwa Tuhan Eropa akan lebih lunak darinya. Ia salah. Ia dicekik dengan garrote, mati di ruangan kecil di Cajamarca, sendirian, dalam keadaan terhina.

Dan di luar, emas masih berdatangan.

Beberapa bulan kemudian, pasukan Pizarro menuju Cuzco. Tak ada perlawanan berarti. Bangsawan yang dulu mendukung Huáscar kini membungkuk pada orang asing. Kuil Matahari dijarah. Istana Sapa Inca dijadikan barak. Takhta yang dulu diperebutkan dua saudara kini kosong, dan Pizarro duduk sebagai penguasa tak resmi, tanpa mahkota, tapi dengan kendali penuh.

Sebagai simbol penundukan, ia mengangkat Manco Inca, adik Atahualpa, sebagai boneka kekuasaan. Sebuah tiruan kekuasaan lama, tanpa otoritas sejati. Orang Spanyol menyebutnya "kerajaan baru", tapi rakyat tahu itu hanya sisa-sisa sejarah yang sedang dikubur pelan-pelan.

Manco Inca

Pizarro tak mau ibu kota yang terlalu jauh dari laut. Ia ingin sesuatu yang dekat dengan Spanyol, dan jauh dari semangat perlawanan. Maka ia membangun kota baru: Lima. 

Kota modern, pesisir, dan Katolik. Kota Cuzco dibiarkan sebagai sisa arkeologi, monumen dari kekuasaan yang pernah menantang langit.

Ironisnya, Pizarro sendiri mati dibunuh pada 1541, bukan oleh suku Inca, tapi oleh sesama bangsawan Spanyol. Kekuasaan yang dibangun di atas pengkhianatan akhirnya diruntuhkan oleh pengkhianatan juga. Di tanah Andes, karma tidak perlu waktu berabad-abad. Cukup satu generasi.

Dan Inca? Mereka tak sepenuhnya punah. Mereka bersembunyi di balik gereja, dalam bahasa rahasia, dan cerita rakyat yang disampaikan lewat bisikan. Tapi mereka tidak lagi punya istana. Karena istana mereka dijatuhkan oleh dua hal: perang saudara dan kepercayaan bahwa musuh datang dengan undangan.

---

Sebuah kekaisaran yang dibangun dengan batu raksasa dan darah leluhur akhirnya roboh bukan karena meriam atau senapan, tapi karena dua saudara yang lebih ingin saling menghabisi daripada menjaga warisan bersama. 

Ketika darah keluarga lebih cepat mendidih daripada amarah terhadap penjajah, tahta pun berubah menjadi undangan terbuka bagi pemangsa dari seberang lautan.

Dan di saat emas dijadikan tebusan untuk nyawa raja, yang terjadi bukan penyelamatan, melainkan pelecehan terakhir terhadap kekuasaan itu sendiri. Kekaisaran Inca tidak dikalahkan. Ia menyerah perlahan, percaya diri, dan tanpa sadar sedang menandatangani surat kematiannya sendiri.


Perhatian: Mohon untuk tidak mengambil atau copy paste artikel di blog ini untuk dijadikan postingan di blog/website, YouTube, maupun platform lain. Terima kasih^^

 

Eya
Eya Mystery and World History Enthusiast

Posting Komentar untuk "Perang Saudara, Pesta Penjajah: Bagaimana Kekaisaran Inca Menyerah Tanpa Diserbu"