Perang Demi Sepiring Rasa: Ketika Rempah Lebih Mahal dari Emas
![]() |
(Source: Banda Historical Museum) |
Orang bilang cinta bisa menggerakkan gunung. Tapi sejarah membuktikan bahwa cengkeh bisa menggerakkan armada perang. Pala bisa menjatuhkan kerajaan. Lada bisa mengubah jalur peradaban.
Kita menyebutnya "bumbu dapur", padahal dulu ia adalah bahan bakar kolonialisme, darah dari ribuan jiwa, dan alasan mengapa peta dunia berubah.
Sekarang kamu bisa beli sebotol bubuk pala di minimarket seharga 12 ribu rupiah. Tapi dulu? Itu harga sebuah peradaban.
Bayangkan sebuah pagi di tahun 1621, langit Banda cerah tapi penuh firasat. Angin membawa aroma cengkeh dan kematian. Di balik senyum tipis Gubernur Jenderal VOC, Jan Pieterszoon Coen, tersembunyi rencana yang akan membuat satu pulau sunyi, dan sejarah bergetar.
Para serdadu Belanda diam-diam telah mengepung desa-desa. Di bawah bendera VOC yang bergoyang angkuh, mereka menyergap penduduk asli Banda dengan strategi yang tak butuh banyak peluru, cukup tipu daya dan janji palsu.
Satu demi satu, pemimpin lokal diseret keluar rumah. Leher mereka dipasangi tali, bukan untuk ditarik, tapi untuk digantung di pohon-pohon tempat mereka dulu memetik pala. Seorang anak menangis, memeluk tubuh ayahnya yang dingin, sementara asap mulai naik dari rumah-rumah yang dibakar. Darah bercampur rempah. Dunia baru sedang dilahirkan, dengan biaya yang terlalu besar untuk dicuci sejarah.
Coen menyebut ini "penertiban ekonomi." Tapi bagi para wanita Banda yang diseret sebagai budak ke Batavia, ini adalah akhir dunia.
![]() |
Jan Pieterszoon Coen |
Eropa pernah menjadi benua lapar rasa. Bumbu bukan hanya soal kuliner, tapi prestise, kekuasaan, bahkan iman. Ketika seorang bangsawan Inggris menyajikan daging yang dibumbui lada dan pala, ia seolah berkata: "Lihat, aku bisa mencicipi dunia".
Masalahnya, dunia itu berada ribuan kilometer jauhnya. Maluku, yang disebut “Spice Islands” oleh para penjelajah Eropa, adalah pusat dari semua obsesi itu.
Lalu datanglah VOC, perusahaan yang bukan sekadar dagang, tapi juga punya tentara, penjara, bahkan otoritas untuk memutus hidup dan mati. Mereka tidak datang untuk berdagang, mereka datang untuk menguasai.
VOC tahu: di Banda, tidak ada negara besar, hanya para petani pala. Jadi mereka bangun skenario yang lebih kejam daripada fiksi: hancurkan penduduk lokal, dan tanam sistem. Hasilnya? Hampir seluruh populasi Banda musnah. Yang bertahan hidup dijadikan budak di tanah mereka sendiri.
Di sisi lain dunia, Inggris menguasai sebuah pulau kecil bernama Run, juga penghasil pala. Ketika Perang Anglo-Belanda berakhir, kedua belah pihak melakukan barter paling absurd dalam sejarah. Belanda berkata, “Tukar Run dengan wilayah jajahanmu yang lain.” Inggris pun sepakat: mereka menyerahkan Run, dan sebagai gantinya mendapatkan Pulau Manhattan.
Manhattan. Kota yang hari ini menjadi pusat kapitalisme global, dahulu ditukar dengan segenggam bumbu dapur.
Tak cukup sampai di situ. Ketika rempah mulai ditanam di wilayah lain oleh Inggris dan Perancis, hasil dari penyelundupan bibit ilegal dan pencurian pengetahuan botani, monopoli Belanda runtuh. VOC bangkrut, tenggelam dalam korupsi dan utang. Perusahaan dagang paling kejam di dunia, akhirnya runtuh oleh sistem yang ia ciptakan sendiri.
Seperti tragedi Yunani, sejarah rempah adalah kisah tentang keserakahan yang menggigit balik. Rempah menjadi saksi bahwa imperialisme bisa lahir bukan karena senjata, tapi karena selera makan.
---
Hari ini kita melihat rempah sebagai seni dapur. Kita melihatnya sebagai budaya. Tapi dulu, mereka adalah bahan bakar perang.
Mungkin sejarah sedang mengingatkan kita: bahwa terkadang, keinginan paling sederhana manusia, untuk makan enak, bisa berubah jadi mesin kolonialisme yang membakar dunia.
Jadi lain kali saat kamu menaburkan bubuk kayu manis ke atas kopi latte, ingatlah: kamu sedang menyeruput aroma pengkhianatan global.
Perhatian: Mohon untuk tidak mengambil atau copy paste artikel di blog ini untuk dijadikan postingan di blog/website, Youtube, maupun platform lainnya. Terima kasih^^
Posting Komentar untuk "Perang Demi Sepiring Rasa: Ketika Rempah Lebih Mahal dari Emas"